Monday, April 13, 2009

Menilai arti Proses menuju Prestasi


Benarkah seorang anak yang nilai ulangan English sering mendapatkan nilai 9 senantiasa “terlihat” lebih baik ketimbang kawannya yang “hanya” mendapat nilai 7? Kalau jawab saya belum tentu. Mendapatkan nilai 9 memang suatu hal yang baik sekali, di hadapan guru dan juga kawan-kawan yang lain, akan tercatat sebagai sebuah prestasi yang mengesankan, yang patut dipuji-puji, yang patut dibangga-banggakan.

Akan tetapi, ketika berbicara sebuah hasil, kita tidak dapat melepaskan dari proses yang melatarbelakanginya. Masih banyak di antara kita yang melulu berorientasi pada sebuah hasil, dan goal senantiasa menjadi tuhan atau berhala baru demi memburu prestise, gengsi, dan lain sebagainya.

Kalau kita lihat, kegiatan kita sehari-hari yang biasa kita lakukan, makan sendiri, mandi sendiri, menggunakan baju sendiri, adalah suatu hal yang lumrah. Akan tetapi seandainya perilaku yang menurut kita merupakan perilaku yang biasa, dan kemudian dilakukan oleh anak yang mengalami retardasi mental, hal tersebut dapat menjadi pekerjaan yang luar biasa. Dia yang mengalami kendala IQ yang rendah, tidak dapat berfikir, bertindak, dan mengontrol perilakunya dengan baik, boleh jadi akan menjadi “sangat” berprestasi ketika dapat menggunakan baju sendiri, dapat makan sendiri, dan lain sebagainya.

Apa yang nampak menurut saya bukan patokan fix sebuah kesuksesan. Kalau dari sononya sudah terlahir sebagai seorang anak yang kaya dengan segala atribut kemewahan yang melekat pada dirinya, tentu tidak dapat dikatakan sesukses orang yang mengawali dari nol, bahkan mungkin minus, hingga dia mendapatkan kekayaan yang boleh jadi setara dengan anak kaya tadi.

Kembali ke English yang dapat nilai 9 tadi, ternyata si Anak adalah anak orang mampu, yang mendapatkan fasilitas penuh dari orang tuanya yang memudahkan dia mendapatkan nilai 9, ikut les tambahan, buku-buku yang lengkap, fasilitas ini-fasilitas itu, dan lain sebagainya. Nah, ternyata anak yang mendapatkan nilai 7 tadi, serba berkekurangan, tidak ada fasilitas tambahan, bahkan yang ada mungkin dia harus membantu bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sialnya masyarakat kita adalah masyarakat yang serba melihat sesuatu serba secara dzahir, bukan apa yang melatar belakangi, dan apa yang menjadikan sebuah kejadian terjadi. Bagi saya, si anak yang mendapat nilai 7 lebih hebat ketimbang yang mendapat 9. Meski serba berkekurangan, dia memulai dari 0 dan dapat mencapai angka 7, sementara sang kawan yang dapat angka 9, dia sudah start dari angka 7. Proses yang sedemikian hebatnya ini yang sungguh disayangkan tidak pernah dapat dimengerti oleh banyak di antara kita, termasuk barangkali oleh para orang tua ketika berhadapan dengan anaknya. Tahunya si anak dapat nilai jelek, padahal boleh jadi dia sudah berusaha keras, atau sangat mungkin bakatnya tidak di sana.

Well, is it me or only me thought so??